Pandangan Etika Kristen tentang Monogani, Poligami, Perkawinan Kudus dan Campur, dan Perceraian - Etika Seks dan Medis

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Dalam suatu proses kehidupan seseorang, kebanyakan orang akan mengalami yang namanya Pernikahan. Dalam pembahasan Etik Kristen yang akan diangkat oleh kelompok saat ini akan dibahas tentang Monogami, Poligami, Pernikahan Kudus, Perkawinan campur, Perceraian, dan UU Pernikahan yang berlaku di Indonesia. Dalam Etik Kristen Monogami yang disetujui dan Poligami ditentang, karena adanya alasan-alasan yang mendukung pemahaman tersebut. Dua orang yang berbeda agama melangsungkan pernikahan tanpa adanya perpindahan agama antara satu sama lain yang disebut pernihkan campur, juga pernikahan kudus yang dilangsungkan oleh banyak orang Kristen yang sudah sesuai dengan norma-norma yang berlaku, dan perceraian yang terjadi karena kesepakatan antara satu pasangan suami-isteri untuk melakukan perceraian dalam suatu hubungan keluarga. Dalam Indonesia ada UU (undang-undang) yang mengatur pernikahan tersebut.

I.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Monogami, Poligami, Perkawinan Kudus, Perkawinan campur, Perceraian ?
2. Sebutkan Undang-undang yang mengatur pernikahan yang berlaku di Indonesia ?
3. Jelaskan pandangan Etik Kristen tentang Monogami, Poligami, Perkawinan Kudus, Perkawinan campur, Perceraian ?
I.3 Tujuan Penulisan
Mengkaji lebih dalam tentang Monogami, Poligami, Perkawinan Kudus, Perkawinan campur, Perceraian yang ada dalam realitas hidup beragama. Agar mengetahui dan dapat menjelaskan Pengertian dari materi-materi yang ada dan juga undang-undang yang mengatur tentang pernikahan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Monogami dan Poligami
Monogami dan Poligami adalah sebutan yang dipakai untuk menggambarkan situasi dalam pernikahan, dan pengertian dari Monogami dan Poligami akan diuraikan sebagai berikut :
II.1.1 Monogami
Monogami sendiri berasal dari bahasa Yunani, monos berarti "satu" atau sendiri, sedangkan gamos yang berarti pernikahan[1]. Arti Monogami menurut KLBI (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia) adalah sistem yang hanya memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu[2].
Monogami adalah peraturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Monogami ialah pernikahan seorang laki-laki dengan seorang wanita saja[3], atau juga dapat disebut pernikahan yang hanya dilangsungkan oleh satu pasangan laki-laki dan perumpuan dan tidak ada pihak lain yang termasuk dalam pernihkahan.
Monogami menurut Alkitab juga sama seperti pandangan Verkuyl yang berkata bahwa hanya seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menikah dan pandangan monogami ini sangatlah dianjurkan dari pada pandangan yang lain. Dalam 1Tim 3:2  “Karena itu penilik jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang,”.

II.1.2 Poligami
Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yg bersamaan[4]. Dalam pernjanjian lama, tampat bahwa gejala poligami atau permaduan memasuki juga lingkungan orang-orang beriman. Banyak yang salah memandangan poligami di dalam Perjanjian Lama, banyak orang mengira bahwa dalam Perjanjian Lama poligami diterima dengan tiada yang menentangnya. Akan tetapi dalam Perjanjian Lama poligami atau permaduan dipandang sebagai bentuk pernikahan yang merusak maksud Tuhan dengan pernikahan.
            Dalam Perjanjian Lama awal mula poligami terdapat dalam keturunan Kain. Keturunan dari Kain tidak mau tunduk kepada Hukum ataupun Injil. Lamekh, adalah pemberontak congkak yang menentang Hukum dan Injil Tuhan, ia menolak monogami dan memilih poligami (Kejadian 4:19).
            Ada juga beberapa tokoh dalam Alkitab yang beriman yang melakukan Poligami itu, seperti Raja Salomo, Yakub. Akan tetapi kehidupan dan pernikahan mereka tidaklah berjalan dengan baik.[5]
            Alkitab menentang sistem poligami ini yang terdapat dalam Ulangan 17:17 : Juga janganlah ia mempunyai banyak isteri, supaya hatinya jangan menyimpang; emas dan perakpun janganlah ia kumpulkan terlalu banyak. Maleakhi 2:15  Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap isteri dari masa mudanya.


II.2 Pernikahan Kudus
Pernikahan adalah tahap kehidupan, yang dalamnya laki-laki dan perempuan boleh hidup bersama-sama dan menikmati seksual secara sah. Secara harafiah pernikahan Kristen selain melibatkan Tuhan sebagai dasar pernikahan, pernikahan Kristen adalah suatu keputusan dua pribadi menjadi satu, menyatukan dua emosi jadi satu dan saling berfungsi meski kedua pribadi memegang teguh jati diri masing-masing, tidak melihat dan menjadikan perbedaan sebagai suatu yang harus dipermasalahkan (Kejadian 2:24)[6].
            Pernikahan kudus adalah pernikahan yang ditetapkan oleh Tuhan. Pernikahan adalah tata-tertib suci yang ditetapkan oleh Tuhan, Khalik langit dan bumi[7]. Pernikahan yang kudus adalah pernikahan yang diberkati oleh Allah (Kejadian 1:28), yang dikehendaki Allah untuk terjadi di antara dua manusia, yaitu perempuan dan laki-laki. Pernikahan yang terjadi atas dasar kasih, Cinta, dan pernikahan yang dilangsungkan melalui proses keagamaan yang telah diatur. 
II.3 Perkawinan Campur
Perkawinan campur adalah perkawinan yang terjadi antara dua orang yang berbeda agama. Dalam pandangan Kristen perkawinan campur akan menjadi suatu pergumulan dalam hidup.
            Agama yang berbeda merupakan suatu faktor yang dapat menyulitkan perkawinan. Walaupn begitu, perkawinan campur tidaklah secara mutlak harus menjadi kurang berbahagia[8]. Menikah dengan orang yang tidak percaya bisa menjadi salah satu tantangan yang paling sulit dalam kehidupan orang Kristen. Pernikahan adalah perjanjian yang kudus yang menyatukan dua orang bersama-sama dalam satu daging (Matius 19:5). Akan sangat sulit bagi seorang percaya dan seorang yang tidak percaya untuk hidup dalam keserasian yang damai (2 Korintus 6:14-15)[9].
            Dalam kesaksian Alkitab ada ayat-ayat yang tidaklah mengharuskan jika seorang melaksanakan perkawinan campur dan ia harus menceraikan pasangannya, akan tetapi ia harus memelihara perkawinan tersebut (1 Korintus 7:12). Akan tetapi perkawinan campur tidaklah dianjurkan untuk dilakukan dalam lingkungan kehidupan orang Kristen karena akan mendatangkan pergumulan dalam kehidupan (2 Korintus 6:14-15).
II.4 Perceraian
Perceraian merupakan masalah yang rumit karena di dalam perkawinan terkandung janji yang mengikat. Perceraian membawa berbagai dampak bagi kehidupan orang yang melakukannya dan ada banyak kosekwensi yang harus ditanggung.
            Kegagalan hubungan suami – isteri yang diikuti perceraian adalah salah satu dari sekian banyak realitas yang terjadi dalam kehidupan manusia. Yang penting, membedakkan antara kedua fenomena itu; keinginan seorang isteri atau suami untuk bercerai adalah akibat dari kegagalan hubungan di antara mereka dalam aspek yang sangat mendasar bukan sebaliknya[10].
Dalam Alkitab juga menentang akan terjadi perceraian di antara suami dan isteri (Maleakhi 2:16 Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel  —  juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat!). Tuhan tidak menghendaki dua orang yang telah menjadi satu lalu dipisahkan karena dunia dan bukan karena maut, karena seorang dapat dikatakan janda atau duda hanya karena maut saja.
            Dalam Khotbah Tuhan Yesus di atas bukit Matius 5:32 tertulis : “setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah, dan siapa yang kawin dengan perumpuan yang diceraikan ia berbuat zinah”. Tuhan menentang perceraian menurut pendapat manusia, karena dalam Markus 10:9 yang adalah perkataan Yesus menentang akan perceraian.
Jika seorang istri atau suami jatuh kedalam dosa zinah karena keadaan-keadaan tertentu, dan saangat menyesali perbuatannya itu, maka perbuatan zinah itu tidak boleh menjadi alasaan untuk bercerai, tetapi mereka terpanggil untuk saling mengampuni dan mulai lagi denga permulaan yang baru  yang dimaksudkan TUHAN disini ialah suatu keadaan, di mana istri atau suami jatuh kedalam dosa, tidak secara kebetulan, tetapi si istri atau suami hidup dan dengan tetap hidup dalam dosa zinah. Disitulah hancurnya dasar-dasar, pondaman-pondaman pernikahan. Disitulah pernikahan telah rusak sama sekali, sehingga tidak dapat diperbaiki kembali dan jika sudah demikian keadaanya, perceraiain tidak terlarang lagi. Sebab pada hakekatnya pernikahan itu tidak ada lagi[11].
II.5 Undang-undang Pernikahan
BAB I
DASAR PERKAWINAN

Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2
1.   Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2.   Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Pasal 3
1.   Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2.   Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan.
Pasal 4
1.   Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalani Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib rnengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
2.   Pengadilan dimaksud dalani ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a.   isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.   isteri mendapat eacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.   isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Pasal 5
1.   Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.   adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b.   adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c.   adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
1.   Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.


BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
1.Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2.Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3.Dalam hal salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4.Dalam hal kedua orang tua telah meninggal duriia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5.Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2),(3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6.Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 7
1.Perkawinan hanya diizinkanjika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
2.Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
3.Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b.berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d.berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suamiberisterilebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan oranglain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Monogami adalah suatu sistem yang digunakan dalam suatu pernikahan dimana dalam suatu hubungan keluarga hanya dijalani oleh seorang suami dan seorang Isteri. Sistem Monogami ini adalah sistem yang diakui dan dianjurkan di Indonesia. Tetapi Poligami adalah suatu sistem perkawinan lebih dari satu orang yang banyak ditentang oleh orang-orang, dalam agama Kristen tidaklah mengenal dan tidak mengijinkan seorang penganut agama untuk melakukan Poligami karena menentang kehendak Tuhan. Pernikahan Kudus adalah pernikahan yang diberkati dan dikehendaki oleh Allah untuk terjadi dan dijalani oleh dua orang yang telah menjadi satu, sedangkan perkawinan campur sendiri tidak dianjurkan dalam agama Kristen tetapi jika sudah terjadi maka hendaklah saling mendukung dan dapat membantu sekalipun pasangan yang berbeda agama yang menjadi satu.
         












DAFTAR PUSTAKA
Buku
Fajri Em Zul & Senja Ratu Aprilia, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta:
            DIFA PUBLISHER, 2008).
Kadarmanto Ruth S.,  Bercerai Boleh atau Tidak ?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
            2014).
Storm- Bons M., Apakah Penggembalaan itu?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
            2012).
Verkuyl .J, Etika kristen – Seksuil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979).
            Internet
Diakses pada tanggal 09 Maret 2015, http://kevindenianri.blogspot.com/2010/12/
            perbedaan-antara-monogami-dan-poligami.html
Diakses pada tanggal 09 Maret 2015, http://kbbi.web.id/poligami
Diakses pada tanggal 11 Maret 2015,http://suarapemulihan.blogspot.com/2012/0
            2/pernikahan-kudus.html
Diakses pada tanggal 13 Maret 2015, http://www.gotquestions.org/Indonesia/m
            enikah-dengan-tidak-percaya.html#ixzz3UFckBUA
            Aplikasi
Alkitab Sabda Elektronik (OLB Versi Indonesia) 4.12





[1] Diakses pada tanggal 09 Maret 2015, http://kevin-denianri.blogspot.com/2010/12/perbedaan-antara-monogami-dan-poligami.html
[2] Em Zul Fajri & Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: DIFA PUBLISHER, 2008), hal 573
[3] Dr. J. Verkuyl, Etika kristen – Seksuil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), hal 59.
[4] Diakses pada tanggal 09 Maret 2015, http://kbbi.web.id/poligami
[5] Bnd. Dr.J. Verkuyl, Etika Kristen – Seksualitas, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), Hal 59
[6] Diakses pada tanggal 11 Maret 2015,http://suarapemulihan.blogspot.com/2012/02/pernikahan-kudus.html
[7] Dr. J. Verkuyl, Etika Kristen – Seksuil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), Hal 54
[8] Dr. M. Bons-Storm, Apakah Penggembalaan itu?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012). Hal 170.
[9] Diakses pada tanggal 13 Maret 2015, http://www.gotquestions.org/Indonesia/menikah-dengan-tidak-percaya.html#ixzz3UFckBUAU
[10] Ruth S. Kadarmanto,  Bercerai Boleh atau Tidak ?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), Hal 3.
[11] Dr. J. Verkuyl, Etika Kristen – Seksuil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), Hal 113.

Post a Comment

0 Comments

Close Menu