BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar
Belakang
Negara
Indonesia mempunyai berbagai agama diantaranya Agama Kristen Katolik, Kristen
Protestan, Islam, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Indonesia adalah Negara hukum
yang mewajibkan warga negaranya memilih satu dari 6 agama resmi di Indonesia.
Namun, relasi antar umat beragama yang terjadi sekarang ini dapat dikatakan
tidak dapat terealisasi dengan baik, karena pada dasarnya semua agama mengakui akan
kepercayaan dan kebenaran yang diajarkan oleh agamanya masing-masing. Hal ini
mengindikasikan bahwa pemahaman masyarakat tentang relasi antar umat beragama
perlu ditinjau kembali. Dikarenakan banyaknya ditemukan saling bermusuhan,
saling merasa ketidakadilan bahkan saling membunuh. Maka dari itulah pentingnya
relasi antar umat beragama, agar semua masyarakat mangalami kerukunan antar
umat beragama, saling menghormati, saling
menghargai bahwa relasi antar umat beragama itu sangatlah penting.
I.2 Rumusan Masalah
a)
Kendala apa yang menjadi permasalahan dalam mencapai relasi umat beragama di Indonesia?
b)
Dialog dan Tantangan Umat Beragama
c)
Berbagai permasalahan yang dapat menjadi penghambat dialog antar umat
beragama
d)
Bagaimana
menghadapi permasalahan atau kendala dalam mencapai relasi antar umat beragama
di Indonesia?
1.3 Tujuan
Makalah ini
disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang relasi antar umat beragama, serta
permasalahan yang di hadapi. Semoga Bermanfaat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kendala Apa Yang Menjadi Permasalahan dalam mencapai relasi umat beragama di Indonesia?
1. Rendahnya Sikap Toleransi
Menurut Dr. Ali Masrur,
M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang ini, khususnya
di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance)
sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola
perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya menyangkut
persoalan teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan
mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam
tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda keyakinan atau agama sama-sama
menjaga jarak satu sama lain.
Masing-masing agama mengakui
kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak
dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah
perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat
menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka
akan timbullah yang dinamakan konflik.
2. Kepentingan Politik
Faktor Politik, Faktor ini
terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mncapai tujuan sebuah
kerukunan antar umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling
penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama
telah dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin
berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya. Namun
tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan
antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan
mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti
yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat
political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan
lagi air mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan
diterima di sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur
dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik
juga kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.
3. Sikap Fanatisme
Berbagai agama di indonesia,
pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan akhir-akhir
ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat
dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman
keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah
ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat.
Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan
dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk
Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini,
tidak dapat diterima di sisi Allah.
Pandangan-pandangan semacam
ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam agama
tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya
sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada
banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama
lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang
bertentangan. Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif
seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja
adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka yang
berada “di luar” untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka
yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau keselamatan
abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte dalam agama
teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan.
Dari uraian diatas, sangat
jelas sekali bahwa ketiga faktor tersebut adalah akar dari permasalahan yang
menyebabkan konflik sekejap maupun berkepanjangan.
B.
Dialog dan Tantangan Umat Beragama
Sekarang ini umat
beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturan-benturan atau konflik di
antara mereka. Yang paling
aktual adalah konflik antar umat beragama di Poso. Potensi pecahnya konflik sangatlah besar, sebesar
pemilahan-pemilahan umat manusia ke dalam batas-batas objektif dan subjektif
peradaban. Menurut Samuel P. Huntington, unsur-unsur pembatas objektif adalah
bahasa, sejarah, agama, adat istiadat, dan lembaga-lembaga. Unsur pembatas
subjektifnya adalah identifikasi dari manusia. Perbedaan antar pembatas itu
adalah nyata dan penting.[1] Secara tidak sadar, manusia terkelompok ke dalam
identitas-identitas yang membedakan antara satu dengan lainnya.
Dari klasifikasi
di atas, agama merupakan salah satu pembatas peradaban. Artinya, umat manusia
terkelompok dalam agama Islam, Kristen, Katolik, Kong Hucu dan sebagainya.
Potensi konflik antar mereka tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, untuk
mengantisipasi pecahnya konflik antar umat
beragama perlu dikembangkan upaya-upaya dialog untuk mengeliminir
perbedaan-perbedaan pembatas di atas.
Dialog adalah
upaya untuk menjembatani bagaimana benturan bisa dieliminir. Dialog memang
bukan tanpa persoalan, misalnya berkenaan dengan standar apa yang harus
digunakan untuk mencakup beragam peradaban yang ada di dunia. Menurut hemat
penulis, perlu adanya standar yang bisa diterima semua pihak. Dengan kata lain,
perlu ada standar universal untuk semua. Standar itu hendaknya bermuara pada
moralitas internasional atau etika global, yaitu hak asasi manusia, kebebasan,
demokrasi, keadilan dan perdamaian. Hal-hal ini bersifat universal dan melampaui kepentingan umat tertentu.[2]
Standar universal
ini memang bukan persoalan mudah, karena ia adalah gagasan teoritis yang
mungkin berbeda dengan kenyataan-kenyataan di lapangan. Namun, sebagai
nilai-nilai universal yang bisa melindungi hak-hak semua masyarakat dunia
tampaknya nilai-nilai itu bisa mewakili kebutuhan bersama manusia, paling tidak
dari standar kemanusiaan (manusiawi).
Di sinilah
kemudian diperlukan suatu pendekatan dan metodologi yang proporsional baik
secara intra-agama maupun antar agama untuk menghindari lahirnya truth claim yang mungkin justru akan
memperuncing benturan. Tawaran-tawaran yang telah dikemukakan oleh para
cendekiawan muslim Indonesia merupakan sumbangan pemikiran yang dapat menjadi
moralitas yang bersifat universal atau menjadi global etik yang dapat dipakai
oleh semua orang.
Selanjutnya, suatu
dialog akan dapat mencapai hasil yang diharapkan apabila, paling tidak,
memenuhi hal-hal berikut ini.
Pertama, adanya keterbukaan atau transparansi. Terbuka berarti mau mendengarkan semua pihak secara
proporsional, adil dan setara. Dialog
bukanlah tempat untuk memenangkan suatu urusan atau perkara, juga bukan tempat untuk menyelundupkan berbagai
“agenda yang tersembunyi” yang tidak diketahui dengan partner dialog.
Kedua adalah menyadari adanya perbedaan. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan
memang merupakan suatu realitas yang tidak dapat dihindari. Artinya, tidak ada
yang berhak menghakimi atas suatu kebenaran atau tidak ada “truth claim” dari
salah satu pihak. Masing-masing pihak diperlakukan secara sama dan setara dalam
memperbincangkan tentang kebenaran agamanya.[3]
Ketiga adalah sikap kritis, yakni kritis terhadap sikap eksklusif dan segala
kecenderungan untuk meremehkan dan mendiskreditkan orang lain. Dengan kata
lain, dialog ibarat pedang bermata dua; sisi pertama mengarah pada diri sendiri
atau otokritik, dan sisi kedua mengarah pada suatu percakapan kritis yang
sifatnya eksternal, yaitu untuk saling memberikan pertimbangan serta memberikan
pendapat kepada orang lain berdasarkan keyakinannya sendiri. Agama bisa
berfungsi sebagai kritik, artinya kritik pada pemahaman dan perilaku umat
beragama sendiri.[4]
Keempat adalah adanya persamaan. Suatu dialog tidak dapat berlangsung dengan
sukses apabila satu pihak menjadi “tuan rumah” sedangkan lainnya menjadi “tamu
yang diundang”. Tiap-tiap pihak hendaknya merasa menjadi tuan rumah. Tiap-tiap
pihak hendaknya bebas berbicara dari hatinya., sekaligus membebaskan dari
beban: misalnya kewajiban terhadap pihak lainnya, maupun kesediaannya pada
organisasinya dan pemerintahannya. Suatu dialog hendaknya tidak ada “tangan di atas’ dan “tangan di bawah”,
semuanya harus sama.[5]
Kelima, adalah ada kemauan untuk memahami kepercayaan, ritus, dan simbol agama
dalam rangka untuk memahami orang lain secara benar. Masing-masing pihak harus
mau berusaha melakukan itu agar pemahaman terhadap orang lain tidak hanya di
permukaan saja tetapi bisa sampai pada bagiannya yang paling dalam
(batin). Dari situlah bisa ditemukan
dasar yang sama sehingga dapat menjadi landasan untuk hidup bersama di dunia
ini secara damai, meskipun adanya perbedaan juga menjadi kenyataan yang tidak
dapat dipungkiri.[6]
C. Berbagai Permasalahan Yang Dapat Menjadi Penghambat Dialog Antar Umat Beragama
Di antara sesuatu
yang dapat menjadi penghambat itu adalah sebagai berikut:
(1) kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman
tentang agama-agama lain secara benar dan seimbang, akibatnya kurang
penghargaan dan muncul sikap saling curiga yang berlainan. Hal ini akibat adanya truth claim, atau sesuatu yang akan mengakibatkan adanya truth claim.[7]
(2) Faktor-faktor sosial politik dan trauma
akan konflik-konflik dalam sejarah, misalnya Perang Salib atau konflik antar
agama yang pernah terjadi di suatu daerah tertentu.
(3) Munculnya sekte-sekte keagamaan yang tidak
ada sikap kompromistik dengan memakai ukuran kebenaran hitam-putih.
(5) Masih adanya kecurigaan dan
ketidakpercayaan kepada orang lain. Atau dengan kata lain, kerukunan yang ada
hanyalah kerukunan semu.
(6) Penafsiran tentang misi atau dakwah yang
konfrontatif.
(7) Ketegangan politik yang melibatkan kelompok
agama.
D.
Bagaimana Menghadapi Permasalahan Atau Kendala Dalam Mencapai Relasi Antar Umat
Beragama Di Indonesia?
1. Dialog Antar Pemeluk Agama
Sejarah perjumpaan
agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara tipikal hampir
keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah
dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang
berpusat pada politik yang kemudian disebut sebagai “sejarah konvensional”
dikembangkan dengan mencakup bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya,
sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai “sejarah baru” (new history).
Sejarah model mutakhir ini lazim disebut sebagai “sejarah sosial” (social
history) sebagai bandingan dari “sejarah politik” (political history).
Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan
sangat relevan, karena ia akan dapat mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para
penganut kedua agama ini di luar bidang politik, yang sangat boleh jadi
berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yang pada gilirannya
mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful co-existence) di antara
para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam
(dan juga agama-agama lain) akan terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan
dengan peningkatan globalisasi, revolusi teknologi komunikasi dan transportasi,
kita akan menyaksikan gelombang perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas
yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi
suatu komunitas umat beragama yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari
lingkungan komunitas umat-umat beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat
diambil: seperti dengan meyakinkan dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang
mungkin oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,” telah
berubah menjadi negara yang secara keagamaan paling beragam. Saya kira,
Indonesia, dalam batas tertentu, juga mengalami kecenderungan yang sama. Dalam
pandangan saya, sebagian besar perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya
agama yang mengalami konflik, bersifat damai. Dalam waktu-waktu tertentu ketika
terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan
krisis pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi
hal ini sayangnya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih
sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya,
banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau
bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai “non-agama.”
Bahkan terjadi juga
pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog
antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di Indonesia maupun pada
tingkat internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai tersebut.
Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian
dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai.
2. Bersikap Optimis
Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk
menuju sikap terbuka, saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya
kira kita tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya
mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan
dialog.Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis.
Pertama, pada beberapa
dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog antaragama, semakin
merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di dalam maupun di luar
negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari misalnya,
di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat
Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa
menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham keagamaan yang
lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga bermunculan
lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang
memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan
kerukunan antarpenganutnya.
Kedua, para pemimpin
masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat
hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara
reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan
memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa
ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin
agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga
tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya.
Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas
pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta
kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Ketiga, masyarakat kita
sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasi-provokasi.
Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh
pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun
berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa
masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah
politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan
penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama,
dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak
memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu
domba antarpenganut agama.
Jika tiga hal ini bisa
dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka
setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat
berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih
sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.
BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Beberapa persoalan dalam hubungan antar umat beragama
terasa masih berlanjut sampai masa sekarang dan mungkin sampai masa yang akan
datang. Beberapa kasus yang menimpa umat beragama, seperti di Poso, adalah satu
contoh yang masih hangat di telinga.
Di tengah umat beragama yang terbiasa melihat dunia
hanya dari perspektif agama mereka secara spesifik sehingga memunculkan
Kristen-sentris dan Islam-sentris, maka kebutuhan untuk belajar lebih banyak
tentang agama orang lain adalah sangat penting. Kita perlu mengembangkan kesadaran
konstruktif mengenai “agama-agama lain”. Selain itu, diskusi dan sikap menerima terhadap masyarakat yang pluralistik menjadi sesuatu yang sangat menentukan pada
masa-masa mendatang.
Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian agama (studi
agama) terhadap persoalan-persoalan yang selama ini terabaikan dalam konteks
relasi antar umat beragama. Kajian-kajian itu adalah usaha untuk melakukan
kritisisme situasi sejarah yang seringkali menunjukkan kesalahpahaman antar
umat beragama. Melalui kajian-kajian itu dimungkinkan tidak hanya dapat
menemukan fakta-fakta tetapi juga meneliti fakta-fakta yang berarti pada masa lalu atau berarti pada
masa sekarang. Hendaknya studi
agama-agama tidak hanya berkonsentrasi pada fakta-fakta agama tetapi juga pada
hal-hal yang telah diinterpretasikan oleh pemeluk agama dalam semua
varietasnya. Di Indonesia, perkembangan studi agama di beberapa pendidikan
tinggi dan lembaga-lembaga lain menunjukkan perkembangan yang cukup
menggembirakan, sehingga pencarian titik temu agama-agama bisa lebih banyak
alternatif.
Adanya perbedaan agama-agama itu bukan berarti tidak
ada “titik temu” yang dapat melahirkan pengertian di antara mereka. Titik temu
itu bisa berupa kesatuan yang bersifat sosial, teologis dan etis (moral). Selain
itu, titik temu bukan hanya berarti dimensi eksoteris (lahiriyah) agama-agama,
tetapi juga dimensi esoterisnya (batinnya).
Dialog antar agama sangat diperlukan guna menetralisir
berbagai maslah
III.2 SARAN
Bangsa
Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
[1]Samuel P. Huntington,
“Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?” Tahun 1993, hlm. 12.
[2]Lihat Bassam Tibi,
“Moralitas Internasional sebagai Landasan Lintas Budaya”, dalam M. Nasir Tamara
dan Elza Pelda Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban
(Jakarta : Yayasan Paramadina, 1996), hlm. 163.
[3]Lihat Tarmizi Thaher,
“Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi Agama-Agama di Indonesia”, (Jakarta :
Balitbang Depag RI, 1998/1999), hlm. 2-3.
[4] Lihat
Komaruddin Hidayat, “Lingkup dan Metodologi Studi Agama-Agama”, hlm. 42.
[5]Ismail
Raji al-Faruqi (ed.), Trialog Tiga Agama Besar: Yahudi, Kristen, Islam,
alih bahasa Joko Susilo Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Cet. I (Surabaya : Pustaka
Progressif, 1994), hlm. 12.
[6]Lihat St. Sunardi,
“Dialog:Cara Baru Beragama”, hlm. 76.
[7] Hal ini adalah antitesis
dari prasyarat dialog yang mengharuskan adanya saling pemahaman terhadap
berbagai macam agama. Jika masing-masing tidak memahami secara benar terhadap
agama orang lain maka ini akan menjadi
penghambat dialog, karena akan muncul kecurigaan-kecurigaan.
[8]Poin 3 dan 4 lihat A.
Ligoy, CP, “Gereja Indonesia”, hlm. 131.
0 Comments