PERUBAHAN PENTING DI
EROPA DAN DI INDONESIA
A. Perluasan
Islam dan Penjajahan VOC
Kira-kira sampai tahun
1800, Islam sudah menyebar luas di Nusantara, membuat para penganut agama Hindu
mulai tergeser dan kemudian para penganut agama Hindu terpinggirkan ke pulau
Bali. Hal itu terjadi karena sering dengan runtuhnya kerajaan-kerajaan Hindu
digantikan oleh kerajaan-kerajaan Islam. Karena hal itu Islam telah menjadi
mayoritas di tempat-tempat sebagaimana kita lihat dan ketahui sampai pada saat
ini. Jadi, sebelum bangsa Barat datang di wilayah Nusantara ini sudah ada
kerajaan-kerajaan yang merdeka dan banyak yang telah memeluk agama-agama,
seperti Hindu, Budha dan Islam. Kemudian Belanda datang lalu menguasai banyak
kerajaan-kerejaan di Nusantara ini dengan cara melakukan politik devide et impera. Dan Belanda (VOC)
menjajah kerajaan-kerajaan itu. Tetapi tentunya penduduk yang sudah ada
tidaklah mau untuk dijajah oleh Belanda, maka timbulah kebencian terhadap VOC
yang sangat berpengaruh negatife bagi usaha penginjilan Gereja, karena VOClah
yang membuat suatu usaha untuk penginjilan di tanah Nusantara.
Secara garis besar,
wilayah Nusantara dikuasai oleh :
VOC : tahun 1605 – 1799
Negara Belanda : tahun 1800-1816
Raja Belanda : tahun 1816 – 1864
Parlemen Belanda : tahun 1864-1942
B. Dampak
Pencerahan Atas Gereja Di Eropa dan di Indonesia
Pencerahan
merupakan suatu aliran filsafat yang pada intinya menyatakan bahwa manusia
adalah makhluk yang ‘beridir sendiri’ seperti ungkapan latin : cogito ergo sum – aku berpikir maka aku
ada’. Dengan pencerahan, manusia membebaskan diri dari segala kuasa yang
kepadanya ia takluk seperti alam, adat istiadat, agama, lembaga-lembaga
tradisional, dsb. Melalui akal budi yang sudah ‘cerah’, manusia dapat
menentukan sendiri segala sesuatu, termasuk ajaran-ajaran agama.
Ada dua dampak utama dari pengaruh
Pencerahan.
Pertama : agama dan Negara dipandang sebagai dua
hal yang berbeda dan karenanya terpisah,
Negara tak boleh mencampuri urusan agama, demikian sebaliknya, agama tidak
boileh mendominasi Negara. Keduanya adalah lembaga yang mempunyai wilayahnya
masing-masing.
Kedua : wilayah jajahan Belanda yang tadinya
hanya ditangani oleh Raja Belanda, kini kekuasaan itu bukan hanya berada di
tangan Raja. Kekuasaan itu berada di tangan Pemerintah bersama Parlemen
Belanda.Konsep yang muncul adalah apa yang disebut “Politik Etis”
Khusus dalam hubungan
dengan yang pertama tadi, di Indonesia sudah bertumbuh agama Kristen, hasil
dari penginjilan orang Belanda sebelumnya. Tetapi pada lain pihak, akibat
pengaruh pencerahan, pemerintah Belanda lalu membedakan antara urusan politik
kenegaraan dengan urusan agama (kegerejaan). Belanda tidak rela untuk
meninggalkan, melepaskan atau membiarkan begitu saja Gereja di Indonesia.
Belanda juga tidak suka bila penduduk pedalaman masuk Islam. Jadi ia harus
berpikir untuk itu ia membentuk dua wadah bagi kelanjutan eksistensi gereja ,
yakni :
a. GPI
yang meliputi orang Kristen berkebangsaan Eropa dan orang Kristen di Maluku.
Tekanan pada yang pertama adalah gereja dikelola, dimiliki dan dibiayai oleh
Negara, sedangkan gereja Negara menunjuk pada kedudukan agama Kristen sebagai
agama Negara. Penetapan raja Willem I terhadap Gereja Protestan di Indonesia
adalah menjadikannya bagian dari struktur administrasi pemerintah.bukan
menjadikan agama Kristen sebagai agama Negara.
b. Lembaga
penginjilan swasta yang melakukan kegiatan di sejumlah daerah di Nusantara, Itu
adalah kegiatan penginjilan yang dilakukan bukan oleh gereja melainkan oleh
orang perorang atau inisiatif pribadinya sendiri yang didorong oleh luapan
semangat pietisme karena iman kepada Yesuis Kristus.
Pembentukan dua wadah
besar ini oleh Pemerintah Belanda adalah dengan mempertimbangkan 2 hal. Pertimbangan
pertama, mendorong Pemerintah membentuk wadah gereja Protestan di Indonesia
(GPI) sedang pertimbangan kedua menentukan sikap pemerintah terhadap
lembaga-lembaga Pekabaran Injil untuk beroperasi di Insonesia. Kedua
pertimbangan itu adalah bahwa :
a. Di
Indonesia terdapat sejumlah jemaat bekas asuhan VOC, sebagai ahli-waris VOC,
pemerintah Belanda tidak bisa melepaskan jemaat-jemaat itu begitu saja. Tapi
harus terus memelihara dan mengasuhnya.
b. Pemerintah
menyadari bahwa orang-orang Islam umumnya memusuhi kekuasaan pemerintahan
Belanda daripada memusuhi jemaat Kristen. Makanya lebih baik daerah-daerah yang
masih beragama suku segera diinjili agar cepat masuk Kristen, bukan menjadi
Islam.
Dua wadah besar itu
terdiri dari: wadah pertama menunjuk pada GPI atau Gereja Negeri seperti
kemudian kelihatan dalam Gereja Prostestan Maluku (GPM), Gereja Masehi Injili
di Minahasa (GMIM), Gereja Injili di Timor (GMIT), Gereja Protestan Indonesia
bagian Barat (GPIB). Wadah kedua dapat disebut sebagai gereja raktay hasil
pekerjaan zending di daerah dimana penduduk umumnya masuk menjadi Kristen dan
gereja minoritas misalnya kelihatan dalam gereja Kristen Jawi Wetan dimana
hanya sebagai kecil penduduk daerahnya menjadi anggota gereja itu dan gereja
protestan Sulawesi Tenggara.
C. Dampak Munculnya Pietisme
1. Latar
belakang Pietisme
Peperangan selama
kira-kira 30 tahun antara penganut Roma Katolik dengan Protestan di Eropa,
terutama di Jerman menimbulkan penderitaan yang hebat. Perang 30 tahun yang
berlatar belakang agama ini justru menghancurkan semua nilai-nilai religius.
Budaya manusia hancur, moral merosot dan banyak gereja tidak berfungsi. Banyak
desa, rumah dan kebun musnah terbakar. Penyakitpun meraja lela, uang kehilangan
nilainya, sadisme di temukan dimana-mana, dan banyak lagi kejahatan yang
terjadi pada waktu itu. Sementara itu Gereja tidak mampu mengumandangkan suara
kenabiannya. Gagasan Martin Luther mengenai “imamat am orang percaya” justru
disalah artikan, terutama oleh para bangsawan dan raja. Atas pemahaman di atas mereka
menuntut hak untuk mengatur kehidupan gereja. Menuntut gereja tidak perlu
diatur oleh klerus melainkan oleh awam dan dalam hal ini itu berarti oleh
mereka juga. Disiplin Gereja dijalankan tapi tidak berlaku untuk tokoh-tokoh
pemerintah. Gereja pada masa itu menjadi tergantung pada pemerintah atau lebih
tepat, diperalat oleh pemerintah untuk tujuannya sendiri. mereka tidak
segan-segan mempergunakan pedang atau kekerasan dengan alasan demi kepentingan
Tuhan. Tidak sedikit raja-raja Lutheran dikenal sebagai raja yang sadis, kasar,
tamak dan pemabuk. Tetapi raja-raja itu selalu diberi gelar “Yohanes Yang
Setia” atau “Ernest yang Saleh” atau “Agustinus yang Perkasa”. Disamping itu
mimbar gereja menjadi alat pemerintah, dan tidak jarang pendeta bertindak sebagai
pegawai pemerintah atau polisi rahasia. Mimbar gereja juga menjadi arena
perdebatan polemik ataupun
ceramah-ceramah dogmatis menentang ajaran-ajaran lain.
Dari situasi dan kondisi itu, muncullah orang dan
kelompok yang ingin mengubahnya. Usaha ini dimulaikan oleh Spener tahun 1669
dengan mendirikan “Collegia Pietatis”
yang kemudian berkembang pesat. Mereka biasanya berkumpul dan bersama-sama
membaca dan membahas tulisan Kristen, berdiskusi tentang kesalehan yang diikuti
dengan petunjuk-petujuk praktis. Untuk itulah Spener menulis bukunya yang
terkenal “Pie Desideria” yang berisi
dasar segala kegiatan praktis kelompok kesalehan itu.
Dari kegiatan mereka itulah istilah “Pietisme” muncul pada tahun 1677 Di Darmstadt yang dalam kalangan gereja
Luteran pertama-tama sebagai istilah ejekan bagi orang-orang yang hidup secara
saleh. Tapi dalam situasi dan kondisi sebagaimana dikemukakan di atas itulah,
pietisme lahir dan berusaha menjawab masalahnya. Pietisme justru lebih peka dan
tanggap dibandingkan dengan gereja Lutheran Ortodoks, ketika mereka mulai
bergerak di bidang pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, dll.
2. Semangat
Penginjilan
Para zendeling yang
datang ke Indonesia memiliki semangat yang berbeda dengan para zendeling
terdahulu. Para zendeling pietis ini memiliki semangat kesalehan, semangat yang
kuat untuk melakukan penginjilan, semangat yang berkobar-kobar untuk menembusi
tantangan, mereka memiliki sukacita yang meluap-luap dalam melakukan
penginijlan. Mereka tidak dibayar oleh pemerintah Belanda sehingga memudahkan
mereka untuk bergerak dengan agak lebih leluasa melakukan penginjilan sampi ke
pedalaman, dengan kata lain, mereka tidak dibiayai dan karenaya juga tidak terikat
kepada Pemerintah Belanda. Mereka sendiri mendirikan lembaga (swasta) bagi penginjilan,
membuka sekolah, sarana kesehatan dsb., tanpa harus bergantung sepenuhnya pada
pemerintah.
0 Comments