BAB II
PEMBAHASAN
II.1. Etimologi
1.a. Politik
Kata
politik ada hubungannya dengan berbagai kata Yunani. Pertama-tama, dengan kata polis.
Di dalam bahasa Yunani kata polis berarti benteng, lalu berarti kota, kemudian
berarti negara dan akhirnya berarti suatu bentuk-negara tertentu, yakni
demokrasi. Kata politik ada juga hubungannya dengan kata Yunani politeia yang
bermacam-macam artinya, penduduk atau warganegara, hak warganegara,
kewarganegaraan, tetapi juga tatanegara, bentuk pemerintahan, dll. Oleh Plato
kata itu telah dicap sebagai suatu terminus technicus (istilah khusus)
dengan tulisannya yang termasyur itu, yakni “Politeia”. Dalam tulisannya
itu ia menguraikan tentang prinsip-prinsip atau dasar-dasar negara,
bentuk-negara dan tindakan-tindakan kenegaraan dsb. Di dalam sejarah
selanjutnya, dalam arti itulah kata politik diartikan. Dan dalam arti itu
pulalah kata politik itu dipergunakan dalam buku ini.[1]
Para ahli membagi politik menjadi
dua, yakni politik sebagai ilmu (political science) dan politik sebagai
filsafat (political philosophy). Kedua hal tersebut berangkat dari
hubungan teori tentang negara dan seni dari pemerintahan sipil.
Politik merupakan kegiatan yang
beraneka ragam dalam suatu entitas dan sistem politik (negara) yang mencakup
proses penentuan tujuan, pelaksanaan tujuan dengan segala kebijakan-kebijakan
umum dan pengaturannya. Namun , untuk melengkapi rumusan yang agak umum itu,
memerlukan penekanan dan catatan-catatan, yakni:
1). Pembuatan
keputusan tidak dapat dilepaskan dari politik karena hal itu sebetulnya
merupakan konsep pokok politik baik menyangkut bentuk, jenis dari negara dan
pemerintahan dan proses-proses di dalamnya.
2). Sebagai
pembuat keputusan, maka prosedurdalam arti siapa yang membuat keputusan
merupakan hal yang penting dalam politik. Tanpa disadari prosedur itu merupakan
ekspresi dari pilihan atau konsepsi menyangkut sistem negara atau pemerintahan
itu sendiri.
3). Masyarakat,
dalam kondisi apa pun akan menjadi sumber, dasar dan wahana politik,
terlepassebagai subyek atau obyek dari pembuatan keputusan atau politik itu
sendiri.[2]
II.2.
Sistem Politik
Sistem
politik di suatu negara atau bentuk negara itu sendiri merupakan perhatian
pokok. Untuk menambah kelengkapan mengenai pengertian politik itu, berikut akan
dikaji beberapa sistem politik yang relevan’
a.) Demokrasi
Demokrasi yang berasal dari kata demos
(rakyat) dan cratos (pemerintahan) memiliki esensi pada perkataan
rakyatdan kenyataan bahwa rakyat yang mengatur (rule of the people).
Kewenangan di dalamnya akan berangkat dari bawah dan bukan dari orang atau figur
yang berada di atas. Meskipun didalam prosesnya rakyat secara menyeluruh tidak dapat mengatur
secara langsung, rakyat dapat melakukannya melalui presentasi yang mereka
tentukan melalui pilihan sendiri. Itu berarti kekuasaan tertinggi berada pada
tangan rakyat. Penekanan yang utama dalam demokrasi adalah persetujuan
(consent) dari rakyat. Dalam konteks ini, demokrasi akan menjadi suatu sistem
yang membuka debat dan diskusi untuk merumuskan suatu pendapat bersama. Istilah
musyawarah merupakan hubungan yang sangat dekat dan tidak terpisahkan dengan
demokrasi. Di dalam proses musyawarah untuk mufakat itu, demokrasi tidak
menutup diri bagi majority rule sebagai jalan keluar yang sangat
realistis dan beralasan, berhubung persetujuan (consent) di dalam suatu
kelompok atau masyarakat besar tidak selamanya mulus, mudah dan dapat ditempuh.
Ada tiga fungsi yang perlu
diperhatikan pada tiap konstitusi suatu negara yang bersifat demokratis.
1). Konstitusi
itu merupakan pengungkapan dari persetujuan (keinginan) rakyat dan dengan itu
rakyatlah yang sungguh-sungguh menetapkan negaranya sendiri.
2). Di
dalamnya ada kepastian mengenai tatanan dan bentuk negara.
3). Konstitusi
harus memberi dan sekaligus membatasi kekuasaan yang dimiliki pemerintah.
Prinsip lain yang paling mendasar
dalam demokrasi adalah pengakuan terhadap kesetaraan ( equality). Kesetaraan
bukan berartisemua orang identik namun dalam hal-hal yang paling
fundamental dan tertentu, tiap orang harus mengakui dan menghormati kesetaraan
mereka. Prinsip kesetaraan inilah yang paling membedakan demokrasi dari
sistem-sistem lainnya.
b.)
Aristokrasi
Aristokrasi (Yunani: aristos, berarti
the best, terbaik; dan cratos yang memerintah), saat ini lebih
banyak dikenakan dalam strata sosial ketimbang politik. Arah pergerakan politik
dunia yang telah meninggalkan sistem aristrokrasi menuju sistem demokrasi,
mengakibatkan istilah itu tidak lagi populer di dalam bidang politik. Prinsip
yang mendasari aristokrasi adalah kesadaran tentang adanya kecakapan yang
berbeda dan keyakinannya bahwa tidak semua orang dapat memerintah. Berangkat
dari pemahaman itu, proses yang terjadi pada suatu negara tidak akan tergantung
pada sistem, tetapi pada kecakapan, kejujuran, kapasitas atau kemampuan pada
pemimpin. Dengan demikian, aristokrasi sangat percaya dan menggantungkan diri
pada figur dan bukan pada sistem. Beberapa faktor yang menjadi titik lemah
aristokrasi sangat disadari penganut aristrokrasi. Persoalan yang paling
mendasar adalah kecenderungan manusia yang rakus, bernapsu dan mementingkan
diri sendiri. [3]
c.) Monarki
Monarki (Yunani: monarchia, dari
kata monos, artinya tunggal dan
kata arche, artinya memerintah), merupakan sistem yang sangat tua dari
tatanan kenegaraan di dunia. Bentuk pemerintahan ini telah muncul sebelum
masyarakat melek huruf dan tradisi catatan sejarah belum di mulai. Karena itu,
tradisi pemerintahan monarki itu justru dipelajari dari mitologi dan
cerita-cerita rakyat pada berbagai bangsa di dunia. Jadi, dapat dikatakan bahwa
pada masyarakat primitif hanya bentuk pemerintahan monarkis yang sebenarnya
dikenal dan dipraktekkan. Di dalam bentuk monarki yang murni, pada diri seorang
raja atau penguasa menggumpal supramasi kekuasaan dan kewenagan dalam pembuatau
UU (perkataan raja adalah hukum), pengaturan administrasi dan kekuasaan
pengadilan dan karenannya ia sangat berkuasa mutlak (absolutist monarchy). Pada
diri seorang (raja), seluruh proses kehidupan masyarakat di gantungkan.
0 Comments