BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Agama
adalah suatu kepercayaan yang dianut oleh setiap orang dan mereka yakini
memiliki suatu kekuatan spiritual di
luar manusia. Agama berasal dari bahasa sansakerta yaitu, a yang berarti tidak dan gama
yang berarti kacau. Jadi agama adalah suatu kepercayaan yang mengatur kehidupan
manusia agar supaya tidak kacau hidup
dalam kerukunan. Setiap agama mengajarkan suatu kebaikan dan mengajarkan agar
supaya setiap penganutnya hidup dalam kedamaian antara manusia sekalipun itu
berbeda agam dengan mereka. Di dalam setiap agama mengatur dan memberi
pemahaman kepada setiap penganutnya bahwa ada suatu kekuatan supranatural di
luar pikiran manusia yang ada dan membantu mereka menjalani hidup ini.
Begitu luas cakupan agama yang ada
di dunia ini, jika kita menghitung ada berbagai macam agama yang ada dan di
anut di bumi ini. Setiap negara yang ada di tiap belahan dunia ini menganut
agama yang berbeda-beda, tergantung dengan pemerintah yang mengijinkan agama
tersebut untuk bertumbuh di negara tersebut. Di Indonesia contohnya saja
mengakui dan mengesahkan enam agama sebagai agama yang sah yang diterima di
Indonesia. Agama-agama yang diterima di Indonesia adalah Islam yang saat ini
menjadi mayoritas di Indonesia, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu.
Setiap agama yang ada di Indonesia memiliki penganutnya masing-masing dengan
sistem kepercayaan mereka.
Agama Islam, Kristen, dan Katolik,
adalah agama yang menganut paham Monoteisme
yaitu suatu paham yang hanya menyembah Satu Allah saja sebagai pokok dan Inti
kepercayaan mereka. Sedangkan Hindu,
Budha, Kong Hucu adalah agama yang menganut paham Politeisme yaitu sistem yang di anut oleh agama di mana agama
tersebut mengakui bahwa adanya lebih dari satu Tuhan yang mereka sembah.
Agama Budha adalah salah satu agama
yang ada di Indonesia yang menganut paham atau sistem politeisme. Agama yang
muncul dan berkembang di India ini berasal dari kata Buddha. Ini bukanlah nama orang jika dibandingkan dengan Kristen
(yang berarti para pengikut Kristus), ini adalah suatu gelar.[1]
Gelar Budha ini memiliki arti yaitu yang
telah bangun. Jadi, seseorang yang menganut agama Budha ada seorang yang
telah bangun dari malam kesesatan dan
sudah berada dalam terang dan cahaya pemandangan yang benar.[2]
Di dalam agama Budha begitu banyak
ajaran yang dianut oleh para pengikut setianya. Ajaran-ajaran dalam agama Budha
yang dituliskan oleh Harun Hadiwijono dalam bukunya Agama Hindu dan Budha yaitu dharma atau dhamma, anitya atau anicca,
anatman atau anatta, karma, marga, nirwana, dan sangha.
I.2 Rumusan Masalah
Dari
Latar belakang yang telah diangkat oleh penulis di atas maka, sesuai dengan
pembahasan yang akan diangkat oleh kelompok, sehingga muncul suatu rumusan
masalah, yaitu:
1. Apakah
isi pengarajan Budha tentang Karma, Marga, dan Nirwana ?
2. Apakah
ada hubungan antara Karma, Marga dan Nirwana ?
I.3 Tujuan Penulisan
Penulis
memiliki suatu tujuan dalam menulis karya ilmiah ini yaitu, untuk mengkaji
lebih dalam tentang beberapa ajaran yang ada di dalam agama budha khususnya
Karma, Marga, dan juga Nirwana. Sehingga penulis dan pembaca lebih mengetahui
tentang kemajemukan yang ada di sekitar dan tentang ajaran yang ada di dalam
agama Budha.
BAB II
PEMBAHASAN
I.1 Karma
Kata
karma berasal dari bahasa Snasekerta
dan dalam bahasa Pali kamma yang
memliki arti perbuatan. Salah satu unsur yang sangat penting dalam ajaran
Buddha ini memiliki makna bahwa suatu perbuatan dapat membuahkan hasil, yaitu
perbuatan baik akan menghasilkan kebahagiaan, dan sebaliknya perbauatan jahat
bisa menghasilkan penderitaan atau kesedihan bagi pelakunya. Pada kesimpulannya
semua perbuatan yang dilakukan atau diseertai kehendak berbuat (cetana)
dikategorikan sebagai karma.[3]
Dalam
ajaran Budha karma yang menyebabkan kelahiran kembali. Akan tetapi dalam ajaran
karma ini yang dimaksudkan dengan dilahirkan kembali jiwa seseorang, karena
dalam ajaran budha tidak ada jiwa seseorang yang tetap. Dilahirkan kembali yang
dimaksudkan dalam ajaran ini adalah watak atau sifat-sifat seseorang atau
kepribadiannya.
Kelahiran kembali dalam ajaran budha
yang adalah karma dapat kita umpamakan seperti “Nyala api”. Karma menjelaskan
bahwa sesuatu perbuatan tentu diikuti oleh akibatnya, seperti kuda yang diikuti
oleh keretanya, dapat juga dikatakan karma adalah hukum tabur tuai.
Perbuatan-perbuatan sepanjang hidup tertimbun sebagai watak, yang nantinya di
dalam kehidupan berikutnya akan menentukan keadaan orang.[4]
Secara umum, karma berarti perbuatan. Umat Buddha memandang hukum karma sebagai hukum
kosmis tentang sebab dan akibat yang juga merupakan hukum moral (Kitab Hukum
Karma) yang impersonal. Menurut hukum ini sesuatu (yang hidup maupun
yang tidak hidup) yang muncul pasti ada sebabnya. Tidak ada sesuatu yang muncul
dari ketidakadaan.
Dengan kata lain, tidak ada sesuatu atau makhluk yang muncul tanpa ada sebab lebih
dahulu. Kita berbicara tentang akibat bila sesuatu itu terjadi tergantung pada
kejadian yang mendahuluinya dan kejadian mula yang menghasilkan kejadian
berikutnya disebut ‘sebab’. Rumusan agama Buddha tentang sebab akibat (Paticcasamuppada)
adalah :
Dengan adanya ini, terjadilah
itu. Dengan timbulnya ini, timbulah itu. Dengan tidak adanya ini, maka tidak
ada itu. Dengan lenyapnya ini, maka lenyaplah itu. (Khuddhaka Nikaya, Udana 40)[5]
Menurut ajaran Buddha, semua
perbuatan dapat menimbulkan akibat, sedangkan semua akibat dapat menimbulkan
hasil dari perbuatan. Adapun akibat perbuatan disebut kamma-vipaka, sedangkan hasil perbuatan disebut kamma-phala. Apabila seseorang dalam kehidupannya ia tidak
melakukan garuka-kamma (Kamma yang
berat dan bermutu. Kamma ini akibatnya dapat dirasakan dalam kehidupan saat
maupun kehidupan berikutnya), dan di saat akan meniggal tidak pula melakukan asanna-kamma (Kamma yang dilakukan
sebelum seseorang meninggal, baik secara lahir maupun batin, terutama dengan
pikiran), maka yang menentukan corak kelahiran berikutnya adalah acinna-kamma (Kamma kebiasaan, baik
berupa kata-kata, perbuatan, maupun pikiran.)[6]
II.2 Marga
Marga
adalah bagian aryasatyani yang keempat, yang mengajarkan tentang kelepasan. Di
dalam bagian aryasatyani yang keempat diajarkan tentang jalan kelepasan atau
marga. Agar seseorang dapat lepas dari penderitaan ia harus melalui jalan yang
terdiri dari 8 tingkatan atau 8 tahap, yaitu percaya yang benar, maksud yang
benar, kata-kata yang benar, perbuatan yang benar, dan semide yang benar.
Delapan tingkatan ini dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Sraddha, Sila, dan
Semadi.
II.2.1
Sraddha
Sraddha
atau iman yang adalah “percaya yang benar”. Dalam ajaran Sraddha mengajarkan
tentang percaya dan menyerahkan diri kepada Buddha sebagai guru yang berwenang
mengajarkan kebenaran, percaya dan menyerahkan diri sendiri kepada dharma atau
ajaran buddha, sebagai yang membawa kepada kelepasan, dan percaya serta
menyerahkan diri kepada jemaat sebagai jalan yang harus dilaluinya. Kepercayaan
yang salah menimbulkan perbuatan yang salah pula[7].
II.2.2
Sila
Sila yang
diambil dari bahasa Sanskerta; artinya adalah prinsip atau asas. Śīla (Sanskrit) atau sīla (Pāli) dalam Buddhaadalah salah satu dari 3 bagian Noble Eightfold Path[8], dan ini adalah kode etik yang menunjukan komitment kepada
harmoni dan kesabaran yang mempunyai pinsip motivasi untuk tidak melakukan
tindakan kekerasan, atau kebebasan dari segala kegiatan yang merugikan makhluk
Tuhan.
Sila terdiri dari: maksud yang benar,
kata-kata yang benar, perbuatan yang benar, hidup yang benar, usaha yang benar,
dan ingatan yang benar. Jalan ini sangat diperlukan untuk persiapan semadi[9] .
Untuk mencapai kelepasan belum cukup jika orang hanya memiliki percaya yang
benar, ia harus juga memiliki moral yang tinggi[10].
II.2.3
Semadi
Semadi
terdiri dari 2 bagian, yaitu: persiapan semadi dan semadinya sendiri. Di dalam
persiapan orang harus berusaha agara supaya perhatiannya tidak terpecah-belah.
Oleh sebab itu ia harus merenungkan. Jika orang sudah merenungkan itu semuanya,
ia harus mengambil tempat duduk di tempat yang sunyi, mengatur nafasnya, serta
merenungkan 4 bhawana. Sesudah persiapan yang telah dilakukan masuklah ornag ke
dalam semadi yang sebenarnnya. Semadi terdiri 4 tingkatan, yaitu:
1. Orang
harus memusatkan pikirannya pada suatu sasaran, untuk mengerti lahir dan batinnya.
Akalnya harus dipusatkan pada sasaran itu, agar lambat laun ia menjadi girang
karenanya.
2. Ia
harus melepaskan rohnya dari segala uraian dan pertimbangan akan sasaran itu,
untuk menjadi satu dengannya dan untuk mendapatkan damai batiniah.
3. Sekalipun
orang masuk melihat sasaran itu, namun ia tidak lagi digirangkan atau
disusahkan olehnya. Kegirangan menjadi pudar, sehingga orang mejadi tenang.
4. Lalu
ia masuk ke tingkatan yang terakhir, yaitu bahwa sukha dan dukha lenyap
semuanya, dan rasa hatinya disucikan.
Demikian
orang sampai pada kelepasan, yaitu kelepasan penderitaan[11].
II.3 Nirwana
Menurut
bunyinya arti dari Nirwana ialah pemadaman. Apa yang padam, tiada lagi, yaitu
apinya. Tetapi jaganlah kita salah menafsirkan kata padamini , bahwa Nirwana adalah suatu pemadaman kepribadian. Hal
itu tidaklah mungkin karena kepribadian itu tidak ada, jadi tidak mungkin juga
hal itu dapat dipadamkan. Juga bukanlah berarti bahwa pemadaman dalam nirwana
itu merupakan suatu keadaan kebahagiaan yang abadi bagi orang tersebut.[12]
Maksud dari padam disini adalah apa yang menjadi dingin bukan musnah, melainkan
hilang panasnya.[13]
Kita
dapat membedakan dua unsur dalam nirwana, yaitu nirwana yang seberapa jauh
dapat dicapai oleh seseorang di dunia ini dan juga nirwana yang dicapai setelah
kematian seseorang. Nirwana yang di capai seseorang di dalam dunia ini memilik
arti ialah pemadaman yang benar-benar sempurna dari segala hawa-nafsu duniawi,
dan nirwana setelah kematian seseorang adalah terpadamnya skanda-skanda dengan
seutuhnya.[14]
Pada
intinya nirwana adalah suatu kelepasan. Kelepasan di dalam agama Budha
diungkapkan dengan berbagai macam ungkapan, umpamanya wimoksa atau wimukti,
yang berarti keselamatan atau kelepasan. secara harafiah kata nirwana berarti pemadaman atau pendinginan.
Di lain tempat dikatakan bahwa
nirwana adalah suatu kebahagiaan yang tanpa pengamatan, tanpa perasaan dengan
sadar. Di situ ketidaktenangan hidup sudah berakhir, sehingga ada kebahagiaan
yang pasti. Nirwana adalah suatu keadaan tanpa gangguan maut, suatu keadaan
yang jauh lebih baik daripada segala keadaan di dunia. Di dalam ajaran Buddha
seluruh dunia memang dipandang terbakar, yaitu terbakar oleh api nafsu (raga),
api kejahatan (dosa), api khayalan. oleh karena itu maka kelepasan yang dicapai
oleh seorang arhat ialah pemadaman, nirwana, yaitu pemadaman nafsu dan
sebagainya.[15]
BAB III
KESIMPULAN
Dalam
ajaran agama Buddha banyak ajaran yang ada. Masing-masing ajaran memiliki inti
ajaran yang mereka beritakan kepada pengikut mereka. Dalam makalah ini dibahas
tentang Karma, Marga, dan Nirwana. Ketiga ajaran ini merupakan suatu hal yang
berhubungan satu dengan yang lainnya. Karma adalah suatu hal yang akan membuat
seseorang tetap akan hidup terus dalam lingkaran kehidupan, dan orang tersbut
harus memutuskan karma itu agar supaya ini mencapai suatu jalan kelepasan.
Banyak orang yang mengira bahwa
seseorang akan mencapai suatu nirwana jikalau ia sudah meninggal. Sebenarnya
Nirwana itu dapat dicapai ketika kita masih hidup. Dengan memutuskan kehidupan
yang duniawi dengan mendapatkan pencerahan dan dengan tekun.
DAFTAR PUSTAKA
Hadiwijono
Harun, Agama Hindu dan Buddha,
Jakarta, BPK Gunung Mulia,2013.
Honig Jr. A.G, Ilmu Agama, Jakarta, BPK Gunung Mulia,
2011
Imron M. Ali, Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia,
Yogyakarta,
IRCiSoD, 2015.
IRCiSoD, 2015.
Karma Dalam Agama Buddha,
https://id.wikipedia.org/wiki/Karma_dalam_agama_
Buddha.
Buddha.
[1] A.G. Honig Jr, Ilmu Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2011), hal. 166.
[2] Honig Jr, hal. 165.
[3] M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia,
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hal. 138.
[4] Dr. Harun Hadiwiono., Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2013), hal 76-77.
[5] Karma Dalam Agama
Buddha, diakses 20 September 2015, https://id.wikipedia.org/wik i/Karma_dalam_agama_Buddha
[6] Imron, hal. 138-139.
[7] Harun, hal 78.
[8] Tiga bagian yang dibagi
dari 8 jalan kebenaran (lih.Marga).
[10] Harun, hal 78.
[11] Harun, hal 80.
[12] Honig Jr,hal 210.
[13] Harun, hal 81.
[14] Honig Jr, hal. 210.
[15] Harun, hal 82
0 Comments